Rabu, 30 Maret 2011

Bambang Sumantri dan Bambang Sukrasana

Gengsi bisa berakibat fatal. Beberapa orang kadang malu mempunyai anggota keluarga atau saudara yang memiliki kekurangan, atau ingin menutupi diri kalo dulunya berasal dari keluarga biasa. Ada juga orang berprinsip "Gpp tekor yg penting kesohor" yang mengakibatkan orang memaksakan diri untuk mengikuti mode agar tetap eksis dan diterima oleh komunitasnya. Saya mengambil salah satu lakon dalam wayang.  Keliatannya kurang pas ya? karena selain kisah dongeng dan jadul, wayang biasanya hanya ditonton oleh orang-orang tua saja. Tapi ceritanya bagus kok! 

Kakak-beradik bernama Bambang Sumantri dan Bambang Sukrasana yang hidup di masa Raja Arjuna Sasrabahu di kerajaan Maespati (bukan Arjuna-nya Pandawa). Kisah ini lebih tua dari Ramayana (Peperangan Rama – Rahwana Raja Alengka untuk merebut Dewi Sinta), apalagi  cerita Barata yudha (Peperangan Pandawa – Kurawa) yang tergolong paling muda. Kisah ini saya baca dari buku terbitan tahun 70-an.

Sosok fisik, sifat Sumantri dan Sukrasana 
Bambang Sumantri dan adiknya Bambang Sukrasana sebenarnya adalah putra dari Resi Suwandagni, namun sejak kecil diasuh oleh kakeknya yaitu Resi Wisanggeni di padepokan terpencil bernama Ardisekar. Sumantri adalah seorang pemuda berparas menawan, sedangkan Sukasrana berbadan kontet namun bermuka seperti raksasa, mirip Ucok Baba. Meskipun demikian, kedua kakak beradik ini amat menyayangi satu sama lain, serta memiliki perilaku yang santun dan budi pekerti yang luhur. Baik Sumantri maupun Sukasrana banyak memperoleh ajaran dan ilmu dari Resi Wisanggeni, sehingga mereka tumbuh menjadi dua anak yg tangguh dan sakti. 

Sumantri ambisius, ingin berprestasi dan termotivasi untuk menjadi yang terbaik. Ciri-ciri ini biasanya dimiliki oleh anak pertama, mereka biasanya lebih berprestasi di bidang akademis dibanding adik-adiknya. Sedangkan Sukrasana, orangnya sederhana, tidak banyak motivasi dalam hidupnya, dia hanya ingin hidup rukun dan damai dengan semua makhluk ciptaan Tuhan. Ciri ini biasanya dimiliki oleh anak bungsu, mereka biasanya tidak pandai dalam akademis namun pandai dalam bergaul (bersosialisasi). Meskipun Sukrasana tidak terlalu berambisi dalam menuntut ilmu namun dia selalu mendapatkannya dengan mudah berkat kemampuannya yang baik dalam berinteraksi dan bergaul dengan semua mahluk ciptaan Tuhan tanpa melihat status sosial.

Di sisi lain, ternyata Sumantri memiliki satu kekurangan, yaitu terlalu jaga image bila berinteraksi dengan orang-orang berpangkat. Sumantri  malu memperkenalkan adiknya, Sukrasana yang ber-fisik jelek dan merupakan inti dari cerita ini.

Kisah Sumantri dan Sukrasana di dalam hutan
Suatu ketika, Sumantri dan Sukrasana sedang berjalan-jalan di dalam hutan. Sukrasana yang bertubuh kecil merasa capek dan minta istirahat. Ketika beristirahat, Sukrasana akhirnya tertidur pulas dan pada saat itu juga datanglah seorang raksasa lapar yang ingin memakan Sumantri dan Sukrasana. Sumantri dengan sigap membopong adiknya yang tertidur lelap dan melarikan diri ke dalam hutan. Setelah cukup jauh, Sukrasana dibaringkan di tempat yang aman sementara Sumantri berusaha menghadang raksasa tersebut. Walau bertarung sekuat tenaga, Sumantri tidak bisa mengalahkan raksasa tersebut. Sumantri hampir kehabisan tenaga, namun tiba-tiba datang Batara Indra (yaitu Dewa di terminologi Hindu, sedangkan Islam dan Kristen mungkin istilahnya Malaikat)  dan memberikan panah Cakrabiswara kepadanya. Sumantri segera melepas anak panah itu ke arah sang raksasa dan akhirnya raksasa itu mati.

Setelah berhasil membunuh raksasa, Sumantri teringat akan adiknya dan dengan sedikit khawatir dan terburu-buru, segera melihat keadaan Sukrasana. Sumantri sangat terkejut melihat binatang-binatang buas di dalam hutan ternyata berkumpul di sekeliling Sukrasana demi menjaga keselamatannya. Setelah Sukrasana terbangun, Sumantri bertanya kepada adiknya, ajian apa yang dimiliki olehnya sehingga bisa menguasai binatang-binatang buas. Sukrasana menjawab bahwa ia tidak memiliki ajian apapun, hanya selama hidupnya dia tak pernah menganggu ataupun melukai binatang2 sekecil apapun. Kedua bersaudara lalu kemudian pulang ke padepokan untuk menceritakan kejadian ini kepada Resi Wisanggeni. Oleh sang resi diceritakan bahwa orang yang memiliki Cakrabiswara merupakan kekasih Batara Wisnu, sementara yang dilindungi binatang2 liar artinya adalah orang yang berbudi luhur dan merupakan kekasih Batara Dharma.

Keinginan Sumantri untuk meninggalkan padepokan Ardisekar
Beberapa masa berlalu, suatu ketika, Sumantri menyampaikan niatnya pada Resi Wisanggeni bahwa ia ingin mengamalkan ilmunya dan dia meminta ijin kepada Resi Wisanggeni untuk meninggalkan padepokan Ardisekar. Dengan berat hati Resi Wisanggeni memberi ijin, tapi Sumantri diharuskan mengabdi di Negara Maespati yang diperintah Prabu Arjuna Sasrabahu yang terkenal adil bijaksana. Sumantri juga sengaja tidak mengajak Sukrasana karena takut dia akan dicemooh (atau takut mengenalkan adiknya ya?) akibat penampilan dan wajahnya yang buruk. Pada suatu hari di pagi buta, dia memandang adiknya yang masih terlelap dengan penuh rasa haru dan berkata “Maapkan aku adikku”, lalu dia tinggalkan Sukrasana adiknya, bocah bajang yang buruk rupa itu dan berangkat menuju ke utara.

Ketika bangun, Sukrasana bingung karena kakaknya telah menghilang. Sukrasana bertanya kepada Resi Wisanggeni ke mana kakaknya menghilang. Ketika diberitahu perihal kepergian kakaknya, Sukrasana tidak rela berpisah dengan kakaknya dan memutuskan untuk mencari kakaknya di Maespati, negeri yang sangat jauh dan berangkat seorang diri.

Perjalanan Sukrasana mencari kakaknya
Dalam perjalanannya, Sukrasana yang memiliki badan kuntet/pendek, cepat merasa kelelahan dan akhirnya berisitrahat di sebuah pohon besar yang teduh. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara besar dari dalam pohon itu. Suara itu berasal dari Candra Birawa (Jin/Makluk halus) yang sudah lama menunggu kedatangan seseorang kekasih Betara Dharma supaya dirinya bisa numpang ke dalam tubuh Sukrasana. Sukrasana menjadi bingung dan ragu, lalu bertanya mengenai asal usul Candra Birawa. Candra Birawa pun menjelaskan bahwa dirinya sebenarnya diciptakan dari gabungan raksasa-raksasa yang menyerang Swargaloka (Surga). Raksasa-raksasa itu punah dikalahkan oleh para dewata (malaikat-malaikat) tapi oleh Betara Guru dihidupkan kembali menjadi satu badan saja dan diberi nama Candra Birawa. Tapi Candra Birawa tidak boleh sembarangan berkeliaran di mayapada (dunia fana), dia diharuskan bersatu dengan kekasih  Batara Dharma karena di tangan orang yang salah, Candra Birawa bisa sangat berbahaya dan menimbulkan kekacauan di mayapada (dunia fana).

Meski telah dijelaskan asal usulnya, Sukrasana masih sangsi untuk memperbolehkan Candra Birawa masuk dan berdiam di dalam tubuhnya. Candra Birawa kemudian menjelaskan bahwa jika Cakra Birawa numpang ke tubuh Sukrasana, Sukrasana akan menjadi lebih sehat dan kuat, selain itu jika dalam kesulitan Sukrasana tinggal singkep, lalu memanggil Candra Birawa dan dirinya akan segera muncul untuk membantu. Dalam pertarungan, Candra Birawa sangat sakti karena setiap tetes darahnya akan menjadi Candra Birawa baru. Sukrasana pun setuju dan memperbolehkan Candra Birawa untuk masuk ke dalam tubuhnya. Dalam hatinya, Sukrasana berpikir bahwa Candra Birawa ini lebih cocok diberikan kepada kakaknya Sumantri, orang yg amat dicintainya yang berkarir sebagai abdi negara yaitu kstaria / prajurit di negara Maespati. Dia ingin memberikan Candra Birawa kepada kakaknya, bila telah berjumpa.

Perjalanan Sumantri untuk mengabdi di negeri Maespati
Sesampainya di istana Maespati, Sumantri menghadap prabu Arjuna Sasrabahu. Arjuna Sasrabahu akan menerima Sumantri jika Sumantri sanggup untuk memboyong seorang putri Magada, Dewi Citrawati, untuk menjadi permaisuri prabu Arjuna Sasrabahu. Sumantri-pun berangkat ke Istana Magada. Sementara itu di Magada, keadaan sangat menegangkan, karena ada para Raja dari 1000 negara, ingin melamar Dewi Citrawati.

Akhirnya prabu Citragada mengadakan sayembara pertarungan antara raja atau utusan untuk memperebutkan Dewi Citrawati. Dengan kesaktiannya, tanpa melibatkan para prajurit dari kedua belah pihak, setelah melewati pertempuran yg sengit, akhirnya Sumantri dapat menaklukkan Prabu Darmawisesa sekaligus para raja lainnya satu per-satu dan memenuhi persyaratan perkawinan Dewi Citrawati berupa Putri Domas / pengiring yg berjumlah 800 orang, dan berhak memboyong Dewi Citrawati dari Magada ke Maespati.

Pengkhinatan Sumantri terhadap Prabu Arjuna Sasrabahu
Namun dalam perjalanan pulang sebelum memasuki Maespati, Sumantri memerintahkan seluruh rombongan berhenti di perbatasan dan mendirikan perkemahan. Mendadak timbul gagasan pada diri Sumantri untuk membuktikan kesaktian Arjuna Sasrabahu. Tak seorangpun mengetahui dengan pasti, apakah niat ini muncul dari sisi manusiawi seorang lelaki yang dalam keadaan diselimuti rasa bangga berlebihan telah mengalahkan sekian banyak raja yg sakti, atau terbersit rasa ingin menguasai seorang wanita yg amat menawan yang sedang dalam genggamannya? Atau, sekedar menguji dan mengukur kesaktian dirinya sebagai seorang yg baru saja turun dari padepokan di pucuk gunung sana?

Yang jelas, Sumantri mengajukan persyaratan lewat surat yg dikirim melalui seorang utusan kepada Prabu Arjuna Sasrabahu agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, Disebutkan didalam suratnya “Hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan layaknya seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Sri Paduka, karena bukan saja disaksikan oleh Dewi Citrawati dan sekalian para putri domas yang berjumlah 800 orang, tetapi juga disaksikan para raja dari lebih seribu negara di luar sana”, demikian antara lain isi surat Sumantri pada Prabu Arjuna Sasrabahu.

Surat yg disampaikan Bambang Sumantri kepada Prabu Arjuna Sasrabahu agar menjemput  sendiri Dewi Citrawati dengan cara 'merebut' dari Sumantri di perbatasan, ditanggapi Sasrabahu dengan kelapangan dada. Akhirnya Prabu Arjuna Sasrabahu harus maju untuk bertarung dengan Sumantri yg berhasil menyelesaikan tugasnya memboyong Dewi Citrawati dari Magada beserta 800 Putri Domasnya.

Terjadilah pertarungan yg dahsyat antara Prabu Arjuna Sasrabahu melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di perbatasan negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan ini merupakan perang maha besar. Sumantri bertanding cukup lama dengan Prabu Arjuna Sasrabahu dan selalu seri sehingga pada akhirnya Sang Prabu Arjuna Sasrabahu bertiwikrama lalu berubah wujud menjadi raksasa sebesar  gunung anakan. Sumantri akhirnya menyerah dan dia telah menemukan jati diri Prabu Arjuna Sasrabahu. Arjuna Sasrabahu adalah titisan Dewa Wisnu, yang ia cari-cari selama ini. Sejak dahulu Sumantri menginginkan bisa mengabdi pada titisan Dewa Wisnu.

Untuk menebus kesalahannya dan atas permintaan permaisurinya, Dewi Citrawati, Prabu Arjuna Sasrabahu memerintahkan Sumantri untuk memindahkan taman Sri Wedari yang berada di Swargaloka (Surga) ke dalam negeri Maespati. Tanpa berpikir panjang, Sumantri mengiyakan permintaan Dewi Citrawati itu. Kemudian Sumantri ditinggal sendirian oleh Arjuna Sasrabahu dan rombongan Dewi Citrawati menuju istana Maespati.

Pertemuan Sumantri dengan adiknya, Sukrasana
Sumantri menjadi bingung, karena jangankan memindahkan taman Sri Wedari, letaknya saja dia tidak tahu. Dalam keadaan linglung, Sumantri bertemu dengan adiknya Sukrasana di tengah hutan yang juga sedang mencari dirinya. Sumantri yang sedang sedih, kemudian bercerita bahwa dia harus memenuhi persyaratan Prabu Arjuna Sasrabahu, memindahkan taman Sriwedari ke negari Maespati bila pengabdiannya ingin diterima. Sukasrana dengan senang hati berusaha menolong kakaknya, namun dengan syarat bahwa ia diperbolehkan ikut dengan kakaknya di Maespati dan Sumantri-pun menyanggupi keinginan adiknya.

Sukasrana lalu segera mencari tempat bersemadi untuk memanggil Cakra Birawa yang ada di dalam tubuhnya. Tiba-tiba Sukasrana tidak terlihat lagi dari pandangan Sumantri, Sumantri pun bergegas kembali ke Maespati, Sesampai di Maespati, ternyata bertepatan datangnya taman Sriwedari. Sumantri merasa lega, karena dengan bantuan adiknya, maka permintaan prabu Arjuna Sasrabahu dapat dipenuhi. Prabu Arjuna Sasrabahu merasa heran, sekaligus kagum, melihat keberhasilan Bambang Sumantri.  Mengingat jasa-jasanya, maka Bambang Sumantri diangkat menjadi Patih Kerajaan Maespati, dengan gelar Patih Suwanda.

Pengkhinatan Sumantri terhadap adiknya, Sukrasana
Sementara itu di taman, istri-istri Arjuna Sasrabahu yaitu permaisuri dan para selir, melihat sesuatu yang menakutkan. Maka Arjuna Sasrabahu meminta agar Sumantri yang sudah bergelar Patih Suwanda untuk menyelesaikan masalah ini. Sumantri, terkejut ketika yang menjadi pokok persoalan, ternyata adiknya sendiri, Bambang Sukrasana. Adiknya lalu disuruh pergi dari taman Sru Wedari. Namun Sukasrana, tidak mau berpisah lagi dengan Sumantri dan mempertanyakan janji yang pernah diucapkan kakaknya.

Sumantri menakut-nakuti adiknya, dengan pura-pura akan memanah adiknya. Tetapi anak panah yang diarahkan kepada adiknya, terlepas dan anak panahnya mengenai adiknya. Sukasrana sekarat dan kemudian meninggal. Bambang Sumantri menangisi kematian adiknya. Arwah sukrasana berbicara kepadanya bahwa Sumantri tidak akan masuk swargaloka (surga), jika tidak dengan Sukrasana. Bambang Sumantri merasa menyesal dan berdosa besar pada adiknya, Bambang Sukasrana.

Sumantri sebelum gugur dalam peperangan
Waduh, jadi panjang, semoga saja tidak bosan. Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan  istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya. Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya agak mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Mayapada. Dewi Citrawati ingin mandi bersama para selir di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu. Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan selir-selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing pergi ke sebuah dataran rendah, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai. "Dinda Patih Suwanda (sebutan bagi seorang yang dicintai, bisa adik, istri atau orang yang lebih muda), aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda." kata Sang Prabu.

Sasrabahu kemudian bertiwikrama, yaitu mengubah tubuhnya menjadi rasaksa yg amat besar, tidur melintang membendung aliran sebuah sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dan panjang, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah itu berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun ke dalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Pemandangan yg terjadi sungguh unik, di mana seribu lebih wanita cantik menyatu saling bergerak tak karuan di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah menggemaskan.

Luapan air sungai yang terbendung, semakin lama semakin meninggi, meluas, melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan tidur ber-Tiwikrama. Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, lalu melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh, abdi kepercayaannya untuk mencari penyebab bencana itu. Dalam waktu singkat abdi kepercayaan telah kembali dan melaporkan bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang bertiwikrama menjadi raksasa dan tidur melintang di muara sungai.

Rahwanapun mencari tahu siapa gerangan Arjuna Sasrabahu itu. Dari pamannya, ia mendengar perihal kesaktian Raja Maespati itu. Ia juga menjadi tahu bahwa permaisuri dan para selir Sasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dari kesemua para putri itu, yang kecantikannya paling menawan adalah sang permaisuri, Dewi Citrawati. Dia adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai titisan dari Batari Sri Widawati.

"Hemmm, kebetulan! Aku akan rebut Dewi Citrawati dari tangan Arjunasasrabahu!" kata Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan para pungawanya untuk menyiapkan pasukan perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan akan kesaktian Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda (Sumantri) yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan kemauannya. "Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan Rahwana. Inilah janji Batara Siwa kepadaku!" kata Rahwana lantang.

Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati. Rahwana merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing tangannya memegang berbagai jenis  senjata. Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan. Dalam sekejap ratusan prajurit Maespati menemui ajaInya. Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang Rahwana, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukanlah tandingan Rahwana.

Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda / Sumantri maju sendiri memimpin pasukan Maespati. Pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak-porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat tangkas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana seperti Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya mati juga di medan perang.

Pertarungan Sumantri dan Rahwana Raja Alengkah
Sampai akhirnya Rahwana bertarung langsung dengan Sumantri, berkali-kali Patih Suwanda berhasil memenggal putus kepala Rahwana. Namun Rahwana selalu dapat hidup kembali dari kematian, dalam sekejap, kepala yg tertebas dari tubuhnya langsung menyatu kembali. Hal ini berkat Ajian Rawarontek, ajaran dan pemberian Prabu Danaraja, raja negara Lokapala terdahulu yang masih kakak Rahwana satu ayah berlainan ibu, putra resi Wisrawa.

Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Rahwana. Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda/Sumantri, masih bergentayangan melihat pertempuran tersebut. Ia melihat inilah saat yang tepat untuk ‘menjemput dan mengajak’ kakaknya, agar arwah Sukrasana dan Kakaknya, Sumantri bisa masuk ke Swargaloka bersamaan. Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam taring Rahwana. Perang tanding pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan Rahwana. Patih Suwanda telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana agar tidak bisa hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya terbabat senjata Cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana. Tak terduga, saat ia memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari tubuh Rahwana menyatu kembali berkat daya kesaktian Aji Rawarontek. Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda gugur. Arwahnya kemudian berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka.

Mendapat laporan berita duka cita itu, Sang Prabu Arjuna Sasrabahu segera bangun dari tidur dan tiwikramanya. Dalam kemarahan besarnya, ia meminta para raja-raja pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana. Cerita ini saya akhiri sampai disini saja karena sudah keluar dari konteks jalan hidup Bambang Sumantri. Namun supaya pembaca tidak terlalu penasaran, berikut ini akhir kisahnya. Rahwana akhirnya dikalahkan Prabu Arjuna Sasrabahu namun tidak dibunuh dan Rahwana berjanji tunduk pada negara Maespati. Hingga dalam masa yang sangat lama, Prabu Arjuna Sasrabahu wafat, sepak terjang Rahwana kembali menjadi cerita dalam kisah Ramayana. Sekian.

Kesimpulan dari sifat Bambang Sumantri.
  1. Sumantri adalah seorang yang santun dalam berkomunikasi, pemberani, menyayangi adiknya/keluarga, loyal kepada pimpinan/negara, namun ada satu kekurangan yaitu gengsi. Gengsi menyebabkan Sumantri tidak mau memperkenalkan adiknya yang kondisinya secara fisik jelek.
  2. Dalam perjalanan hidupnya, Sumantri dan beberapa manusia bisa melenceng dari tujuan, yang awalnya baik, namun berubah setelah diberi kekuasaan, akses birokrasi, kekayaan, kecerdasan, kesaktian. Karunia tersebut bisa menjadi cobaan yang menyebabkan manusia mudah untuk berbuat dosa/maksiat

Inilah yang saya sukai dari cerita wayang. Cerita wayang secara jujur mengungkapkan sisi positif dan sisi negatif dari seorang figur.(Sumber: Buku yang saya baca tahun 1993, Kaskus.us, http://Purwawayang.blogspot.com)

9 komentar:

Bayu Rahmawati mengatakan...

wuah dari cerita ini og ketoknya Bambang Sumantri ie rada antagonis trus Bambang Sukrasana ie protagonis,,,
yg lbih bijaksana ie Bambang Sumantri atau Bambang Sukrasana,,,

Unknown mengatakan...

ini kisah yang tidak boleh dilupakan begitu saja walau sudah memasuki abad milenium :)

Anonim mengatakan...

Di lakon pewayangan ini protagonisnya ya dua bersaudara itu, Bambang Sumantri yg terlalu idealis, Bambang Sukrasana yg terlalu childis.. Sebagai titisan Wisnu, karakter Arjuna Sasrabahu mengganggu alur cerita, karakternya terlalu kuat, seperti Arnold Scwharzeneger di film Terminator Salvation, maennya dikit tapi paling ditunggu..

Anonim mengatakan...

Bambang Sumantri bergelar Patih Suwondo,
Su artinya baik, bagus
wondo artinya muka
artinya kebaikannya hanya dimuka / didepan penguasa saja( orang yang menguasainya ), tetapi di belakang berkhianat

Unknown mengatakan...

Menurut saya karakter keduanya sangat manusiawi, artinya memang ada di masyarakat, Kita tinggal mengambil hikmahnya saja.

Namun demikian, banyak orang memberi nama anak Sumantri, spt nama rektor UI, gelanggang olahraga di Rasuna said juga bernama Sumantri Brojonegoro, artinya ada banyak hal dari karakter Sumantri yang dikagumi meski ada negatif.

Salam.

Unknown mengatakan...

makasih yang ngebuat ini ngebantu tugas sekolah baget :P

Unknown mengatakan...

bagus

Unknown mengatakan...

teringat akan kisah saya dan adik saya...sebenarnya ada benang merah diantara kisah ini dan kehidupan kami..semoga kisah ini menginspirasi kakak - beradik yang juga mau tahu tentang cinta seorang kakak dan sebaliknya adik pada kakaknya...ambilah kisahnya dengan bijaksana.

Unknown mengatakan...

menurut hemat saya sebenarnya kisah ini menggambarkan tentang diri/ pikiran kita, yaitu antara pikiran sadar (tokoh sumantri) dan pikiran bawah sadar (tokoh sukrosono). pikiran sadar kita dipenuhi kepandaian analisa serta nafsu, pikiran bwh sadar bersifat lugu dan sangat sakti. jika kita tahu cara memanfaatkan bawah sadar kita seperti halnya sumantri meminta tolong sukrosono maka segala apapun yang terlihat mustahil dapat terlaksana ...

Posting Komentar